SEKOLAH PEDALANGAN WAYANG SASAK | Agar Kita Tak Hilang Jejak

AGAR TAK HILANG JEJAK

wayangsasak      08 Mei 2016 | kabar


MENJAGA WAYANG SASAK DI GUMI PAER LOMBOK

Mataram-Lombok 2015
Teringat pada Kisah Perkawinan Selandir dalam lakon Percintaan Dewi Nila Sari dan Prabu Jayeng Rane. Kisah tersebuh adalah kisah pakem wayang sasak, yang ditulis dalam tulisan jawa kuno, yang dimainkan Dalang Lalu Erwan, asal Puyung, Lombok tengah. Lalu Erwan adalah salah seorang dari 14 dalang yang masih eksis di Pulau Lombok.

Meskipun pertunjukan itu dimainkan dalang Erwan 5 tahun silam, namun pertunjukan Lalu Erwan bersama Sanggar Surye Candre Puyung, masih mengesankan. Apalagi ketik itu di halaman samping gedung Taman Budaya NTB, para kru membawa berbagai jenis alat musik, mulai dari gamelan, seruling  dan gong. Mereka datang menggunakan mobil bak terbuka sewaan dari kampung. 

Ketika kelir dibentangkan, dan malam mulai bergerak, wayang wayang dikeluarkan dari peti dengan upacara sakral yang sederhana dari sang dalang, gongpun dibunyikan, seruling menandai lakon akan segera dimulai. gerakan gunungan wayang sasak Lalu Erwan, begitu menderu deru, menembus malam yang diam.

Perkawinan Selandir adalah kisah wayang Sasak yang sangat menawan, tersebutlah Prabu Johansyah Raja Kertas Wiru, akan menyerahkan putrinya Dewi Nila Sari kepada Prabu Jayeng Rane di Kerajaan mekah. Dalam perjalanan Rombongan atau iring iringan yang membawa sang Putri, dicegat olehpasukan raksasa dari kerajaan Ondra Giri yang dimpimpin Patih Kumbang Kara, dan Putripun direbut diculik dari rombongan itu.

Kejadian itu menyebabkan Raja Kertas Wiru murka dan memerintahkan agar putrinya segera dibebaskan dari tangang para raksasa. Anehnya tak satupun patih yang berani membebaskan sang Putri, tkut pada kesaktian sang raksasa. Namun muncullah selandir seorang prajuit yang gagah berani dan memiliki kesaktian luar biasa. Selandir bersedia membebaskan sang Putri melawan pasukan raksasa dari kerajaan Indra Giri.

pertempuran sengitpun terjadi, dan kekuatan Selandir tak bisa dipungkiri lagi, dia berhasil membebaskan sang putri dari cengkraman rapa raksasa. Putri Dewi Nila Sari akhirnya bebas dan menikah dengan Selandir karena keberaniannya, bukan dengan Pangeran jayeng rane, yang memberikan penghormatan pada Selandir karena telah membebaskan sang putri raja.

"ini adalah kisah percintaan yang paling disukai, karena Selandir menunjukkan kesaktiannya, yang bisa menendang gunung dan menghancurkan musuhnya" kata Lalu Erwan, sang dalang.

Lalu Erwan adalah salah seorang dari 40 dalang Wayang Sasak yang masih bertahan, kemampuannya mendalang tak diragukan lagi, sejak kanak kanak dia telah memulai mendalang dengan dedaunan kering. "saya dulu mencoba dengan daun daunan, wayang saya biat dengan daun, dan mendalang menirukan lakon wayang yang saya tonton" katanya.

Mengenang kembali pertunjukan Percintaan Selandir, seperti mengenang sebuah kisah pahit, karena selama 3 jam petunjukan itu, hanya 6 orang yang bertahan menonton pertunjukan wayang yang sangat memikat itu.

Menurut Abdul Latif Apriaman, pegiat Ideaksi, yang juga penggagas Sekolah pedalangan wayang sasak di Kampung Budaya Sesela, sepinya pertujukan wyang sasak ketika itu entah karena panitia yang tak menyebarluaskan adanya pertunjukan di halaman Taman Budaya Matarm,  atau karena masyarakat telah kehilangan rasa dan apresiasi terhadap wayang, sehingga pertunjukan wayang kerap kali tidak dilirik. "ini sebenarnya hal sangat kita sayangkan, dan harus segera berubah, apalagi anak anak muda di Lombok sama sekali tidak mengenali wayang sasak" kata Latif.

"Bayangkan betapa memikatnya peperangan Selandir melawan raksasa, bayangan wayang begitu kuat dibalik kelir. tapi belum juga menjadi daya pikat anak anak muda kita pada wayang" ungkap Latif kembali.

Lahirlah Gagasan Sekolah Dalang

Mungkin sebuah kebetulan bertemu dengan kelompok Sanggar Selaparang, di kampung Budaya Sesela. Ketua sanggarnya adalah Muhaimi, yang banyak berjuang untuk gerakan kebudayaan di kampungnya, termasuk kampung kampung lain yang bisa didatanginya. Emy panggilan akrabnya terbiasa mengundang para seniman bermain musik di sanggarnya, dengan biaya seadanya , pertunjukkan agar dengan mudah digelar.

Setelah hampir dua tahun berdiskusi dengan Emy dan sanggar selaparang, perkumpulan Ideaksi yang digagas enam orang dari beragam profesi, mulai dari Fotografer, Jurnalis, Guru dan seorang layoter, tanggal 10  Desember 2014 silam. Mereka adalah Abdul latif Apriaman (jurnalis), Muhri Wahyu Nurba (Fotografer), Fitri Rachmawati  atau Pikong (jurnalis), Muhammad Laduni (Guru sekolah gratis),  Eko Susilo (Layoter) dan Turmuzi (jurnalis).

"gagasan ini awalnya dari Pikong, kemudian kita kembangkan bersama hingga akhirnya kami menemukan format yang cocok untuk mewujudkannya" kata Latif ketika Marco Kusuma Wijaya, Direktur Rujak yang datang ke Mataram Agustus 2015 silam.

Kegiatan Sekolah dalang telah berjalan 4 bulan setelah mendapat dukungan anggaran dari Rujak (Center for Urban Studies dan Indo Art Now)  yang menyebarkan sayembara secara terbuka dan menerima gagasan dari perorangan maupun kelompok terkait seni dan lingkungan. Dari ratusan peserta yang menawarkan gagasannya,  Sekolah pedalangan alternatif wayang sasak  masuk dalam sepuluh besar.

Apa yang diberikan Rujak adalah pintu masuk untuk menguatkan apa yang telah digagas du tahun lalu, bersinergi dengan kelompok kesenian Sanggar Selaparang, dan Sekolah Pedalagangan Wayang Sasak adalah gerakan bersama untuk menjaga kesenian suku sasak yang nyaris punah, karena minimnya generasi penerus.

PROSESI SEDERHANA SEKOLAH PEDALANGAN WAYANG SASAK

Jum'at sore 29 Mei 2015, Sebuah prosesi sederhana digelar di sebuah lahan berukuran tak lebih dari 7 kali 8 meter persedi di gang H. Holidin, Desa Sesela, Kecamatan Gunung Sari, kabupaten Lombok Barat. Tabuhan musik gamelan menyambut kedatangan para tamu dengan bahagia. Mereka yang datang adalah mereka yang perduli pada gerakan menjaga budaya dan tradisi suku Sasak, yang kian tergerus Zaman, salah satunya adalah Wayang Sasak.

Gununganpun bergerak sebagai pembuka, bahwa sekolah pedalangan wayang sasak resmi berdiri di tanah Sesela, sebuah kampung budaya yang telah digagas puluhan tahun oleh para budayawan dan seniman di desa yang pernah hidup dan sangat terkenal dengan kerajinan ukir cuklinya.

 Prosesi diwarnai pembacaan Puisi berjudul Selandir,  oleh Abdul Latif Apriaman, pegiat IDEAKSI( Sinergi Ide dan Aksi), sebuah lembaga yang bergerak di bidang kebudayaan. Puisi Selandir menurut Latif, adalah cerminan, betapa nasib Wayang Sasak sangat memprihatinkan, di mana pertunjukan wayang telah begitu tertinggal dan ditinggalkan oleh perkembangan Zaman yang melesat begitu cepat. Wayang Sasak seolah dongeng malam hari yang kian hilang. "puisi ini saya tulis, ketika pertunjukan wayang 17 April 2011 silam, hanya ditonton belasan orang, saat malam beranjak hanya beberapa penonton yang tersisa. Ini sangat menyakitkan dan tak boleh terjadi lagi" kata Latif.

Berangkat dari peristiwa itu, seluruh warga Kampung Budaya Sesela, bertekad menjaga tradisi dan budaya kita bersama, dengan mewujudkan sekolah pedalangan wayang sasak ini. " ini kami hajatkan untuk anak anak muda generasi penerus di kampung ini, tentu saja agar kita tak kehilangan jejak atas budaya dan tradisi leluhur kita" kata Latif.

Berdasarkan data Dinas Pariwisata NTB, jumlah Dalang yang tersisa saat ini tak lebih dari 40 oang dalang, dan hanya 13 orang yang aktif, itupun usia mereka telah lanjut. Sekolah pedalangan ini akan menjawab rasa takut dan kekhawatiran kita semua, akan hilangnya generasi penerus para dalang di pulau lombok ini.

Sekolah pedalangan ini juga akan menjawab tantangan jaman saat ini, dengan melahirkan dalang dalang muda yang memiliki kepekaan sosial, budaya dan lingkungan yang tinggi. Tentu saja dalang yang akan memberikan pertunjukan wayang yang segar dan lebih ramah dengan kemajuan jaman dan generasi muda.

Hal sedana diungkapkan Suhaemy, Kepala Sekolah Pedalangan wayang Sasak, menurut dia melalui sekolah yang dibangun dengan rasa cinta dan keyakinan, Emy percaya semua ini dapat terwujud  karena gerakan bersama, dukungan semua pihak yang tak ingin kehilangan tradisi dan budaya Wayang Sasak.

menurut  Emy sejarah wayang sasak yang bersamaan dengan masukknya ajaran islam di Lombok, diperkirakan sekitar abad 16. Melalui wayang rakyat berkenalan dengan peradaban yang lebih baik dan tata cara bermasyarakat yang luhur. Perkembangan zaman dan berlimpahnya hiburan di televisi semestinya bukanlah alasan masyarakat di pulau Lombok meninggalkan tradisi leluhur mereka, seperti wayang sasak.

Sekolah Pedalangan Wayang Sasak di Lombok, merupakan yang pertama di NTB, dan diwujudkan di sebuah kampung sederhana di Desa Sesela. Siswa pertama terdiri dari 30 orang siswa dan 6 orang tim pengajar. Sekolah pedalangan ini dibagi menjadi 3 kelas, kelas dalang, kelas musik dan kelas tatah wayang. "mereka akan dilatih sebaik mungkin dan jika mereka berhasil kelak, mereka akan menjadi penanda lahirnya generasi generasi penerus, sehingga kita tidak kehilangan tradisi dan budaya leluhur kita" kata Emy.

Semua pihak berharap sekolah ini akan melahirkan dalang dalang muda yang kaya inovasi dan kreasi, agar wayang tak hanya milik para pengila wayang, tetapi menjadi milik semua kalangan, terutama anak-anak, sebagai generasi penerus tradisi. Agar kita bisa mengatakan Wayang sasak tidak lagi tergerus, ditinggalkan Jaman.Agar kita tak hilang jejak.

Dalang Sukardi yang juga masuk dalam tim pengajar sekolah pedalangan wayang sasak, berharap banyak anak anak muda tertarik terlibat dalam sekolah alternatif tersebut. "kalaupun dalam prosesnya hanya beberapa dalang yang lahir meskipun hanya satu orang itu merupakan hal yang membahagiakan, karena satu orang dalang lahir di desa Sesela adalah pertanda baik, bahwa akan lahir lebih banyak lagi dalang dalang muda berikutnya" kata Sukardi. [TIM IDEAKSI].

Share to:

Twitter Facebook Google+ Stumbleupon LinkedIn
kliping | Pergelaran Karya Budaya Menumbuhkan Akar Kebudayaan dalam Diri

Di Negeri Hagia yang terkenal subur dan kaya raya, hiduplah dua kelompok penduduk, yakni kelompok merah dan kelompok hitam. Mereka hidup berdampingan rukun dan damai. Na ... baca

kliping | Teater Wayang Botol dan Pesan untuk Bersama-sama Menjaga Bumi

Simposium keenam Jaringan Taman Bumi Asia Pasifik (APGN) 2019 yang berlangsung di Lombok, Nusa Tenggara Barat 31 Agustus-7 September 2019, ditutup dengan pertunjukan Teater Waya ... baca

kliping | Inovatif, Sanggar Anak Semesta Daur Ulang Sampah Plastik Jadi Wayang Edukatif

TrubusNews

Karmin Winarta | 20 Feb 2019  

Trubus.id -- Setiap tanggal 21 Februari diperingati sebagai ... baca

kliping | Rencana Kebijakan "Full Day School" akan Dibatalkan

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan akan membatalkan rencana kebijakan perpanjangan jam sekolah dasar dan menengah. Pembatalan ini disambut baik berbagai kalangan. (VOA — li ... baca

kabar | Setiap Tamu Adalah Siswa, Adalah Guru

Nova, Desi, Ina, Farid, Hamdani dan kawan-kawannya sore itu betapa girangnya. Kelas mereka di Sekolah Pedalangan Wayang Sasak (SPWS) , di Desa Sesela, Lombok Barat kedatangan se ... baca

kliping | “Roah Ampenan” Bukti Ampenan Masih Tetap Ampenan

kicknews.today Mataram – Sejak sekitar pukul 20.00 wita alunan suara music etnis kontemporer mulai menggema di kawasan Eks Pelabuhan Kota Tua Ampenan. Sek ... baca


Yayasan Pedalangan Wayang Sasak © 2016
sekolahwayang@gmail.com