Menjenguk Para Sesepuh Dalang Wayang Sasak
Para sesepuh merindukan generasi penerus. Tidak sekedar mempelajari secara teori. Tapi mereka merindukan lahirnya dalang-dalang muda sebagai pelita harapan di tengah senjakala wayang Sasak.
***
LANGKAHNYA gontai. Mendorong sepeda ontel. Suara alat tenun dari rumah-rumah menyambut kedatangannya. Pria bersarung itu lalu hilang di perkampungan, Dusun Gunung Malang, Desa Taman Ayu, Kecamatan Gerung. Sekarang ia nampak bergegas. Di rumahnya, beberapa pemuda dari sekolah wayang Sasak sudah menunggu. Mereka hendak menimba ilmu dari dirinya.
Kedatangan tamunya kali ini terasa spesial. Sebab ia akan bertemu dengan dalang-dalang muda. Calon penerus. Rasanya, sudah bertahun-tahun ia tunggu datangnya hari ini. Jawaban atas kegundahannya sebagai dalang tua yang sulit mencari penerus.
Di usianya yang menginjak 60 tahun, Nurhadi boleh berbangga sebagai salah satu sesepuh dalang wayang Sasak. Ia cukup terkenal. Tapi ia tidak bisa menyembunyikan kegelisahan hatinya akan generasi penerus. Sebab jarang ada anak muda tertarik mempelajari ilmu dalang.
Apalagi jadi seorang dalang. Termasuk empat orang anaknya, dua laki-laki dan dua perempuan. Belum ada tanda-tanda akan melanjutkan mendalang.
Kondisi saat ini berbeda dengan zamannya dulu. Dimana wayang menjadi primadona. Jagat pewayangan menggeliat. Penuh gairah. Sekarang, sarana hiburan semakin banyak. Televisi, musik dan film sudah mengalahkan peran para dalang ini.
Anak zaman sekarang seakan memunggungi mereka. Kini secercah harapan bersinar di hatinya. Kedatangan dalang-dalang muda dari Sesela, Lombok Barat, mengobati kerinduannya pada dalang muda.
Ilmu mendalang didapatkannya dari sang ayah yakni Amaq Raimah alias Rainah, yang juga merupakan seorang dalang. Bapaknya belajar dari Amaq Darmiah, salah seorang dalang tua di Bongor.
Nurhadi kecil sangat bersemangat mempelajari wayang. Belajar mulai dari membaca cerita dalam Serat Menak dalam lontar. Baru mempelajari adeg atau tata cara pedalangan.
Nurhadi pertama kali menjadi dalang di usia 17 tahun. Tahun 1973, ia mulai mendalang di kampung halamannya. Baru pada tahun 1977 ia dilepas untuk mentas di luar kampung.
Tanggal 17 Agustus di lapangan Gerung. Saat itu ia membawakan cerita “Korsah” dari cerita serat menak ke 7. Pengalaman itu tidak pernah dilupakan sampai saat ini. Dan sampai saat ini ia masih tetap aktif mendalang.
Ia banyak diundang untuk mengisi acara seperti sunatan, perayaan maulid, ngurisan, acara pernikahan, juga acara-acara pemerintah. Termasuk di Taman Budaya. Tapi dibandingkan dulu, sekarang intensitas mendalang sudah mulai berkurang. Seiring bertambahnya usia.
”Terakhir main wayang setahun lalu,” katanya.
Selama tidak mendalang, ia lebih banyak menghabiskan waktu di sawah. Bertani untuk kebutuhan hidup. Sebab, penghasilan menjadi dalang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Meski demikian, para dalang ini masih tetap bertahan karena dunia wayang sudah terasa menyatu dengan dirinya. Semua suka duka tidak pernah dijadikannya beban. Ia tetap senang melakoni perannya sebagai dalang.
”Suka duka sebagai dalang banyak sekali,” tuturnya tersenyum.
Semangat ini tidak lepas dari didikan sang bapak. Sosok yang mengajarkannya mendalang. Ilmu tersebut menjadi warisan yang masih dijaganya sampai saat ini.
Sementara wayang tua peninggalan bapaknya diboyong ke Belanda. Mereka datang dari Belanda khusus membeli wayang buatan bapaknya. Wayang tersebut merupakan wayang pertama yang dibuat sang bapak.
”Waktu itu saya masih kecil, jadi saya tidak tahu pembicaraan orang tua seperti apa,” tuturnya.
Setelah wayang tua itu dibeli. Baru wayang-wayang baru kembali dibuat untuk pementasan. Sampai saat ini, wayang tersebut masih dijaga dan digunakan untuk mendalang. Tokoh-tokoh dalang dalam pewayangan Sasak hampir semua sama. baik tokoh kanan maupun tokoh kiri. Termasuk tokoh rakyat biasa seperti Rangga (Amaq Baoq), Galur (Ocong), Teleng (Inaq Itet), Cingang, dan Egol.
”Tokoh-tokoh tersebut memiliki arti tersendiri,” ujarnya.
Ia berharap, wayang Sasak dapat terus dilestarikan generasi muda. Tidak hanya orang luar yang mempelajari budaya Lombok. Tapi mereka pada pemuda.
Dengan adanya sekolah dalang, ia berharap akan lahir generasi penerus. Konsisten. Tekun mempelajari dengan sabar. Sehingga seni budaya Sasak tidak terkubur oleh zaman. (Sirtupillaihi/Lombok Barat /r6)
Share to:
Twitter Facebook Google+ Stumbleupon LinkedIn
kliping
|
Pergelaran Karya Budaya Menumbuhkan Akar Kebudayaan dalam Diri
![]() Di Negeri Hagia yang terkenal subur dan kaya raya, hiduplah dua kelompok penduduk, yakni kelompok merah dan kelompok hitam. Mereka hidup berdampingan rukun dan damai. Na ... baca |
kliping
|
Pedalangan Wayang Sasak Sajikan Edukasi Lingkungan Lewat Wayang Botol
![]() NOVA.id - Sekolah Wayang Sasak asal Lombok, turut meriahkan acara baca |
kliping
|
Teater Wayang Botol dan Pesan untuk Bersama-sama Menjaga Bumi
![]() Simposium keenam Jaringan Taman Bumi Asia Pasifik (APGN) 2019 yang berlangsung di Lombok, Nusa Tenggara Barat 31 Agustus-7 September 2019, ditutup dengan pertunjukan Teater Waya ... baca |
kliping
|
Rencana Kebijakan "Full Day School" akan Dibatalkan
![]() Menteri Pendidikan dan Kebudayaan akan membatalkan rencana kebijakan perpanjangan jam sekolah dasar dan menengah. Pembatalan ini disambut baik berbagai kalangan. (VOA — li ... baca |
kabar
|
Setiap Tamu Adalah Siswa, Adalah Guru
![]() Nova, Desi, Ina, Farid, Hamdani dan kawan-kawannya sore itu betapa girangnya. Kelas mereka di Sekolah Pedalangan Wayang Sasak (SPWS) , di Desa Sesela, Lombok Barat kedatangan se ... baca |
kliping
|
“Roah Ampenan” Bukti Ampenan Masih Tetap Ampenan
![]() kicknews.today Mataram – Sejak sekitar pukul 20.00 wita alunan suara music etnis kontemporer mulai menggema di kawasan Eks Pelabuhan Kota Tua Ampenan. Sek ... baca |